Selasa, 23 Desember 2008

KEARIFAN TRADISIONAL DALAM PENDIDIKAN

Arhanuddin Salim




Ketika berbagai tuduhan pelanggaran HAM mulai menyentuh banyak lembaga yang akhir-akhir ini menimpa banyak perwira TNI, problem HAM di dunia pendidikan ternyata belum banyak menarik minat banyak pihak. Tidak begitu kitasadari bahwa kekerasan substansial dan pemaksaan kehendak, lebih sering dialami anak-anak di dunia pendidikan dari ruang-ruang kelas. Di ruang-ruang kelas itulah manusia anak didik sering diperlakukan tidak manusiawi dan aspirasinya kurang didengar, kecuali menuruti kehendak pendidik yang secar sepihak menyatakan diri sebagai orang yang lebih dewasa.

Sementara itu, pihak pengelola endidikan (dinas pendidikan nasional) dan para guru, menempatkan diri sebagai orang yang lebih bermoral, sumber kebaikan an , kesuksesan hidup. Paa saat yang sama, telah lama kita memperihatinkan nasib guru yang gajinya pas-pasan dan masih harus menjadi pelayan yang terpaksa setia kepaa elite penguasa, khususnya pejabat yang ada di dinas pendidikan nasional. Bisa saja kita menyatakan bahwa kekerasan dunia pendidikan itu sebgai resiko dan harga social yang harus dibayar dari kekurangpedulian kita terhadap nasib guru. Namun menurut penulis alas an ekonomi tidaklah tepat dan juga bukan sebuah kearifan jika ijadikan pemebnar bagi pelanngarab HAM dan penindasan bagi anak-anak di negeri ini.

Pendidikan seharusnya menjdi wahana manusia untuk belajar menyelesaikan problem kehidupan yang sedang dan akan dihadapi. Sayangnya, pendidikan hanya sebagai paket peniruan gaya hidup versi penguasa, birokra, pendidikan dan para “orang dewasa”. Karenalah itulah pendidikan sering terperangkap sebagai peraktek ke-kuno-an dari gaya hidup generasi terdahulu yang ketinggalan zaman. Bahkan pendidikn juga mudah terperangkap sebagai praktek sebuah system penindasan dan ketidak adilan.

Tanpa reformasi pendidikan sebagai sebuah proses induksi dan dialog budaya antar generasi, pendidikan akan mudah menjadi praktek pemasungan an peninasan kreatifitas serta perlakuan kekerasan sistematis yang terlembaga. HAM yang lebih benilai tradisional itu diroda-paksakan menjadi hak hukum, hak politik dan hak-hak lain menurut versi impersonal sebagai indikasi modernitas. Seharusnya disadari bahwa HAM, selain bersifat universal sekaligus juga harus bersifat unik sesuai hakekat jati diri manusia yang unik dan misteriuas.

Tanpa kesadaran HAM dalam arti tradisonal, tujuan berperestasi dalam dunia pendidikan dipicu dengan mengabaikan hak-hak paling asasi setiap orang. Prestasi anak dalam dunia pendidikan selama ini lebih berarti sebagai prestasi lembaga sekolah yang menumbuhkan kebanngaan berlebihan pada lembaga. Muncul sentiment lembaga dari ruang-ruang kelas bahwa sekolahnyalah yang paling jawara dalam banyak bidang. Inilah yang sebenarnya menjadi akar bentrokan antar sekolah selama ini. Dan itupulah yang menjadi akr dari segala kerusuhan anatr kelompok di dalam masyrakat kta selama ini.

Dalam skal yang lebih luas hal itu berkaitan dengan kekerasan social yang terus berlangsung dan julai menyentuh wilayah teologis da SARA. Pendidikan berubah menjadi industri tenaga kerja dan proyek elite politik penguasa. Pembangunan menjadi cara peniadan keunikan manusia sehingga yang semakin impersonal (baca; tidak peduli penderitaan dan kegagalan orang lai) dianggap semaki n efisien dan produktif. Manusia diletakkan dalam struktur banyak lembaga itu, dari mana ia dinilai, dihargai atau dibuang, dihormati atau ditindas. Atas nama lembaga, seorang boleh bertindak di luar bats tradisional kemanusian, merampas memnjarakan, bahkan membunuh. Berpartai atau berengara, berkeporasi, bermasjid atau bergereja dan berpure hingga bersekolah, menjadi sebuah ritus yang membuat manusia menjadi Tuhan-Tuhan yang boleh berbuat apa saja.

Cita manusia diubah menjadi citra sekolah, partai birokarssi, perusahaan, toko atau sopir, pegawai atau majikan, buruh atau manager dan lembaga keagamaan. Nilai-nilai etik, spritual dan gaib kemudian berubah terperangkap menjadi tanda-tanda lahiriyah yang keras dan habis dibagi. Hanya ada satu sekolah yang berperestasi, satu partai yang menang, dan hanya satu agama yang benar. Seluruh realitas lain, dipandang kesalahan, keburukan, dan ketertindasan. Seorang bisa disebut paling kaya jika yang lain melarat, bisa menjadi paling pandai kalau yang lain bodoh.

Kerasan dan penindasan ternyata tidak hanya di medan tempur, tetapi dihadapi manusia tiap hari di jalan., di pasar, di sekolah dan di mana saja manusia bertemu dengan sesamnya. Untuk bebas dan keluar dari kemeluk perangkat kemanusia itu serta jejaring ideologisasi perang kemanusia tersebut, perlu dikembangkan kesadaran dan kearifan tradisional yang bebas dan mengatsi jerat pelembagaan moernitas. Kesadaran dan kearifan tardisonal yang intuitif lebih memberi peluang yang promosi HAM dan tumbuhnya keunikan budaya yang lebih manusiawai. Pendidikan yang seharusnya menjadi ajang pencarian kebenaran dan pemberian fasilitas bagi tumbuhnya kemanusian itu kemudian berubah menajadi ajang pergumulan elite penguasa an politisi. Tanpa penyadan intusi kemanusian itu, pendidikan bisa berubah menjadi praktek sistematis dehumanisasi.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

berkomentarlah