Selasa, 23 Desember 2008

ArtiKelku

Pendidikan Islam di Tengah Kemelut

Wacana “Posmodernisme”

Arhanuddin Salim





Wacana pendidikan Islam semakin mendapatkan aura eksistensinya ketika akhir-akhir ini gembong pembaharuan Islam yang ada di perguruan tinggi Islam dalam hal ini IAIN, sebagai representasi terhadap wajah baru dalam memahami ajaran Islam yang lebih professional dan jauh dari kekumuhan. Tak pelak lagi akhir-akhir ini rekonstruksi pengembangan IAIN menuju ke UIN adalah sebuah langkah baru dan maju yang dicetuskan oleh cendikiawan-cendikiawan muslim di tanah air untuk memajukan pendidikan Islam, untuk bisa bersaing dengan pendidikan non Islam atau dengan kata lain mencoba keluar dari kemelut dikotomisasi(pemisahan) antara ilmu agama yang banyak diproduksi oleh lembaga pendidikan agama(IAIN dkk) serta ilmu umum yang didominasi oleh lembaga pendidikan umum(universitas).

Perubahan IAIN ke UIN sebenarnya adalah hasil produksi wacana di tahun 70-an yang banyak dimotori oleh Ismail Radji al-Faruqi dengan grand tema diskursus “Islamisai ilmu pengetahuan” dan sampai saat ini auranya masih sangat terasa di tengah-tengah intelektual muslim di Indonesia.

Tulisan ini bukannya ingin mengulas lebih jauh tentang islamisasi ilmu pengetahuan, di samping karena kurangnya waktu dan ruangnya terbatas, namun tulisan ini akan lebih jauh mengulas seperti apa wajah pendidikan Islam ketika dihadapkan pada diskursus wacana mutakhir yang sangat trend saat ini yakni wacana posmodernisme atau lebih keren dikenal dengan “posmo”. Meskipun sebenarnya wacana posmo ini di Barat(eropa) sudah mulai muncul sekitar tahun 60-an, namun kajian dan auranya di Indonesia masih sangat muda dan sangat terbatas.


Posmodernisme: Sebuah tanda Tanya?

Menurut Komaruddin Hidayat dalam artikelnya “Melampai Nama-Nama Islam dan Posmodernisme” beliau mengatakan, bahwa terdapat perbedaan aksentuasi makna dan semangat ketika Postmodernisme dipahami sebagai periode kesejarahan dan mode pemikiran, meskipun keduanya memiliki keterkaitan yang amat erat: yang pertama mengajak kita untuk memusatkan pada kajian sosiologis terhadap kehidupan masyarakat postmodern, sedang yang kedua pada analisa konseptual-filosofis. Lanjut Komaruddin Hidayat bahwa ketika postmodernisme dikaitkan dengan Islam, kita juga bisa meniliknya dari dua arah tersebut. Tapi di sini kita sulit mencari sosok pemikir yang secara spesifik dan intens terlibat dalam wacana postmodernisme sebagai sebuah agenda filosofis-intelektual. Barangkali hanya dua nama yang mudah disebutkan, yakni Mohamed Arkoun dan Hassan Hanafi. Yang pertama seorang intelektual muslim kelahiran Aljazair yang tinggal di Perancis, dan yang kedua berasal dari Mesir yang juga banyak mengenyam pendidikan di Perancis. Keduanya memiliki keterlibatan intelektual secara langsung dengan isu dan gerakan postmodernisme di Eropa. Dari keduanya itu kelihatannya Arkoun lebih terlibat jauh.

Berbagai karyanya, yang sebagian besar masih dalam edisi Perancis, memang secara eksplisit memperkenalkan konsep "dekonstruksi" dari Derrida dalam memahami Al-Qur'an, meskipun dalam segi yang amat fundamental Arkoun berbeda dari Derrida dan pemikir postmodernis yang lain.

Mencermati analisa Komaruddin Hidayat di atas, dapat diyakini bahwa ternyata wacana posmodernisme dalam Islam masih sangat terbatas serta kurang mendapatkan perhatian dan hanya pada segelintir intelektual muslim yang menggarapnya sebagi mode pemikiran yang khas dalam diskursus ke-Islam-an. Pernyataan ini bukan berarti bahwa mengkaji posmodernisme atau Posmo dalam diskursus ke-Islam-an tidak dimungkinkan namun boleh jadi diskursus posmo belumlah terlalu menarik bagi pemikir-pemikir muslim saat ini, apalagi yang mempunyai mode pemikiran yang cenderun tradisonal. Yang dapat kita lihat saat ini misalnya yang cukup serius melihat perkembangan posmodernisme dalam Islam adalah Akbar S Ahmed dengan karyanya Postmodernism and Islam(1992) dan Ernest Gellner, Postmodernisme, Reason and Religion(1992). Meskipun keduanya menurut Komaruddin Hidayat secara eksplisit menyebutkan postmodernism dalam judul bukunya, tetapi sayang analisanya kurang masuk dan menusuk lebih dalam memasuki agenda diskusi yang dilakukan oleh kaum poststrukturalis. Namun begitu kedua buah buku ini setidaknya memberikan pengantar bagi kita untuk memasuki arena diskusi mengenai kaitan Islam dengan persoalan modernitas dan postmodernitas.

Menurut Akbar S ahmed dalam bukunya posmodernisme and Islam(1992) yang terlebih dahulu melakukuan analisa sosiologis atas posmodernisme, sebagaimana yang dikutip oleh Komaruddin Hidayat bahwa setidaknya ada delapan ciri utama posmodernisme yakni; Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden(meta-narasi); dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran. Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media masa telah menjelma bagaikan "agama" atau "tuhan" sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi. Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan. Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisisme dengan masa lalu. Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat roda, negara maju sebagai "titik pusat" yang menentukan gerak pada "lingkaran pinggir".

Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi. Tujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif. Dan Delapan, bahasa yang digunakan dalam wacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut "era postmodernisme" banyak mengandung paradoks.

Dengan melihat ciri-ciri utama dari posmodernisme di atas yang diungakapkan oleh Akbar S Ahmed, dapat dimengerti bahwa kondisi posmodernisme sesungguhnya mengantarkan kita pada sebuah kondisi yang sangat berbeda dengan kondisi sebelumnya yakni kondisi modern. Sementara itu menurut Julia I. Suryakusuma mengatakan bahwa, secara historis kelahiran postmodernisme dapat dilacak jauh ke alur sejarah kegagalan modernisme. Benih-benih kekecewaan terhadap modernisme pertama kali muncul pada tahun 1950-an dalam dunia sastra, ketika Charles Olson, seorang penyair Amerika, menggunakannya untuk menyebut gerakan anti-modernisme dan anti-rasionalitas modern dalam dunia puisi kontemporer Amerika(Bertens, 1995:20). Gerakan anti-modernisme, yang dipelopori oleh John Cage, Robert Rauschenberg, Merce Cunningham, ini adalah gerakan yang mencoba membangun kesadaran untuk keluar dari kungkungan dan kuasa rasionalitas seni modern. Para seniman dan penyair saat itu mulai merasa jenuh berada dalam ketertutupan dan kekakuan rasionalitas instrumental dunia modern. Dalam tulisannya Human Universe (1951), Olson menyatakan bahwa dunia kebudayaan Barat, karena orientasi ontologisnya yang “membabi-buta” terhadap rasionalitas modern, telah menyebabkan hilangnya otentisitas kehidupan dan kesejatian pengalaman manusia. Sebagai akibatnya manusia tidak lagi mampu mengalami dan menghayati kekayaan realitas kehidupan dengan segenap keunikannya masing-masing(Bertens, 1995: 21).

Hal yang ada hanyalah sebuah realitas tunggal yang monolitik, dogmatis dan ideologis. Sebaliknya, gerakan anti-modernisme menyatakan sikap penolakan terhadap pandangan rasionalitas modern yang menjunjung tinggi universalitas, subjek transenden, ego individual, dan merayakan otentisitas kehidupan. Gerakan anti-modernisme hendak mencoba melawan keangkuhan nilai dan estetika sastra modern. Perbincangan mengenai postmodernisme selanjutnya berkembang dalam lapangan seni. Pada kurun waktu tahun 1960-an, muncul tulisan-tulisan tentang postmodernisme dengan artikulasi dan pemihakan yang lebih jelas. Dalam dunia sastra, Ihab Hassan dan Susan Sontag menyatakan mulai bangkitnya dunia sastra yang terdiam. Sontag juga menyatakan telah lahirnya sensibilitas baru, yaitu suatu sikap yang lebih terbuka menerima keragaman gaya dan bentuk, serta tidak lagi menuntut penghormatan terhadap seniman dan karya seni.

Dari pemaparan di atas nampaknya pendidikan Islam mesti melakukan pembenahan secara dini sebab dengan melihat perkembagan posmodernisme yang semakin pesat memasuki disiplin dan bidang keilmuan yang ada, maka seharusnya pendidikan Islam tidaklah menjadi penonton yang cemburu dan malu-malu, artinya bahwa ketika pendidikan Islam ingin maju, maka sedari awal mesti membuka diri untuk merambah disiplin wacana dan diskursus yang nota bene bisa membuka cara pandang baru dalam melihat realitas sebagai sebuah mode of tough dalam menganalisa realitas ke-Islam-an kita saat ini.

Bagi penulis sekaranlah saatnya pendidikan Islam mesti secara jujur membuka krang ke-eksklusifan-an yang terpenjara akibat kolonialisasi-pengetahuan dari Barat(eropa) yang menyebabkan keterpenjaraan metodik selama ini. Begitupun dengan menyikapi posmodernisme saat ini pendidikan Islam seharusnya menjadikan posmodersme sebagai objek kajian yang netral dari dimensi kuasa yang bermain di dalamnya, sebab bagaimanapun juga posmodernisme adalah produk Barat(eropa) yang tidak pernah lepas dan netral dari wilayah “kuasa” dan kepentigan terutama, kepentingan politik-ekonomi dan lain sebagainya.

Demikianlah ketika pendidikan Islam ingin menyikapi dan merespon atas wacana dan diskursus posmodernisme, maka sesungguhnya tak pernah lepas dari dimensi dan dasar bagunana pendidikan Islam tersebut yakni ajaran Islam, mesti ada rekonstruksi ulang terhadap tafsiran ke-Islam-an kita selama ini sehingga kita mudah mendekati atau memahami dimensi posmodernisme tersebut sebagai babak baru dalam menciptakan dimensi pendidikan Islam yang mampu menyapa dan mencandra realitas secara bijak dan arif, semoga. Wallahu, a’alam










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

berkomentarlah